Theme Preview Rss

farewell


Sepertinya ini adalah foto momen-momen terakhir kami sedang menonton tv bersama di kontrakan. Dengan pindahnya aku dan Alvaz dari Jayapura, Bambang pun akhirnya memilih untuk kembali tinggal di kosan. Sampai jumpa housemate, semoga kehidupan baru yang lebih baik menanti kita semua.

 

Day #3 - Bangkok



Hari ketiga di bangkok diawali dengan perjalanan menggunakan BTS ke Stasiun Saphan Thaksin. Niat awal menggunakan MRT kami batalkan karena ternyata tak ada MRT ke arah selatan dari Stasiun Shukumvit yang transit di Sala Daeng. Meski kaki kami mulai capek karena perjalanan hari sebelumnya, tapi semangat dan olesan counterpain sebelum pergi tidur cukup membantu meredakannya. FYI harga Counterpain di Thailand jauh lebih murah dibanding di Indonesia, bahkan teman Dipho sampai request oleh-oleh Counterpain segede pasta gigi 200 ml karena harganya cuman 60 tbh. Saat kami sedang menikmati pemandangan gedung-gedung dari balik kaca BTS, terdengar suara mbak-mbak mesin yang berbunyi “ satani ton pai, satani saphan thaksin. Next station, saphan thaksin station” kami segera bergegas dari tempat duduk kami dan berdiri di dekat pintu keluar otomatis BTS. Stasiun Saphan Thaksin yang kami tuju ini merupakan akses untuk menggunakan transportasi di sungai Chao Praya.


Tepat di bawah Stasiun BTS Saphan Taksin terdapat Sathorn Pier yang biasa disebut dengan Central Pier karena semua jalur perahu di Sungai Chao Praya berhenti di dermaga ini. Sekitar 30 menit kami menunggu di Sathorn Pier sampai akhirnya perahu dengan bendera orange datang mendekat dari arah timur. Dengan perahu berbendera orange tersebut kami menuju daerah Rattanakosin untuk mengunjungi kompleks kuil seperti Wat Pho, Wat Arun dan juga Wat Phra Kew di dalam Kompleks Grand Palace. Perahu bendera orange kami pilih karena jalur orange ini berperahu lebih besar dan lebih cepat karena tak berhenti di setiap pier. Seperti saat menaiki bis dari bandara, dalam perahu ini juga ada seorang kondektur wanita yang membawa perlengkapan wajibnya, sebuah tabung tiket. Dari Sathorn Pier ke dermaga tujuan kami, Ta Tien Pier, dikenakan tariff 15 tbh. Ta Tien Pier adalah sebuah dermaga kecil di seberang Wat Arun, kami memilih berhenti di dermaga ini karena letaknya lebih dekat dengan Wat Pho yang menjadi tujuan awal kami. Selain Ta Tien Phier, dermaga yang umum dituju oleh para turis adalah Tha Chang Pier yang berlokasi lebih dekat dengan Kompleks Grand Palace, dan juga Pier Phorn Athit yang berlokasi di sekitar Khao San Road, yang dikenal sebagai daerah Backpackker.



Melalui jalanan kayu yang dibangun sedikit lebih tinggi untuk menghindari banjir Sungai Chao Praya, kami berjalan keluar dari Ta Tien Pier menuju Wat Pho. Kami melewati kios-kios penjual makanan dan cumi kering sepanjang perjalanan menuju Wat Pho. Kami tiba di Wat Pho sekitar pukul 8 pagi, masih cukup sepi meski loket karcis telah buka sejak pukul 7.30. Untuk masuk ke Wat Pho dikenakan tiket sebesar 100 tbh dan pengunjung dilarang menggunakan celana pendek atau pakaian yang tak berlengan. Bersama pengunjung lainnya kami menyaksikan ritual doa pagi dari para umat budha yang datang untuk beribadah, yang akhirnya membuatku penasaran dan ikut sok-sok-an berdoa dengan membakar lilin dan dupa serta menancapkan sekuntum bunga lotus di bejana di depan patung Budha. Kunjungan kami lanjutkan dengan memasuki sebuah bangunan kuil yang memiliki patung Sleeping Budha terbesar di Asia Tenggara. Sebelum masuk ke dalam kuil, setiap pengunjung diberi sebuah kantong kain untuk menyimpan alas kaki dan membawanya saat masuk melihat patung Sleeping Budha. Seperti biasa, kunjungan ke tempat semacam ini selain untuk melihat keindahannya juga untuk berfoto-foto ria, dengan pengunjung yang mulai ramai kami pun antri untuk berfoto di depan patung Sleeping Budha.

Tak seperti kuil yang di dalamnya terdapat Sleeping Budha, kuil-kuil lain yang ternyata banyak jumlahnya di dalam kompleks Wat Pho, jauh terlihat lebih sepi, karena pengunjung enggan mengeksplorasinya. Yang menarik dari Wat Pho dan kuil-kuil lainnya adalah relief-relief stupa yang dibuat dari susunan pecahan keramik berwarna-warni serta balutan warna emas pada patung-patung budha dan bangunan-bangunan kuilnya. Selain bangunan kuil yang memiliki patung budha yang berbeda antara satu dan lainnya, di dalam Wat Pho juga terdapat semacam sekolah dan asrama bagi para biksu, yang pada saat kami berkunjung tak banyak kami temui.

Selesai mengitari Wat Pho, kami kembali berjalan ke arah pasar yang kami lewati dalam perjalanan dari Ta Tien Pier. Kami membeli sarapan di sebuah kios yang memasang logo bulan sabit yang berada tepat di gerbang jalanan kayu. Makanan yang aku pilih adalah Pad Thai, semacam kwetiaw khas Thailand, selain itu kios makanan muslim ini menyediakan juga nasi goreng, tom yum kung dan lain-lain. Seporsi Pad Thai dihargai 60 tbh dan nasi goreng seharga 50 tbh. Dari tempat sarapan, kami berjalan menyusuri jalan di seberang selatan tembok komplek Grand Palace yang letaknya berseberangan dengan Wat Pho. Di sepanjang jalan ini terdapat deretan penjual batu-batu permata dan liontin patung budha yang biasanya dipakai sebagai jimat. Sekitar sepuluh menit kami berjalan sampai akhirnya kami menjumpai keriuhan para turis yang mengantri masuk di depan gerbang Grand Palace. Sebelum mengantri untuk membeli tiket, di sekitar pintu gerbang terdapat petugas yang memastikan pengunjung yang datang mengenakan pakaian yang sopan, yakni tidak memakai celana pendek dan pakaian tanpa lengan. Petugas akan melarang pengunjung yang tidak memakai pakaian yang sesuai dan menyarankan mereka untuk menutupi diri mereka dengan kain yang disediakan oleh pengelola (entah gratis atau sewa). Tiket Grand Palace bagi wisatawan asing sebesar 200 tbh, tiket ini termasuk tiket Vimanmek Museum, sebuah komplek rumah tinggal raja yang terbuat dari kayu jati yang berlokasi di daerah Dusit.

Bangunan pertama yang dapat dinikmati setelah melewati pintu pemeriksaan tiket adalah Wat Phra Kew, komplek kuil istana yang pada bangunan kuil utamanya terdapat sebuah patung Emerald Budha. Kami sempat berfoto di berbagai tempat di seputar Wat Phra Kew sebelum akhirnya memilih untuk duduk-duduk di gazebo untuk menghindari teriknya sengatan matahari. Di kuil utama pengunjung dizinkan masuk baik untuk beribadah ataupun sekedar untuk mengagumi keindahan arsitektur kuil yang megah, penuh dengan ukiran dan didominasi dengan warna emas dan merah. Karena dilarang untuk berfoto di dalam kuil, maka untuk mendapatkan foto patung Emerald Budha, pengunjung dapat memotretnya dari luar ruangan. Ramainya pengunjung membuka kesempatan bagi para pencopet untuk beraksi di tempat ini, meski telah banyak papan peringatan agar para pengunjung berhati-hati dan menjaga barang-barang berharganya, masih saja kami jumpai seorang turis jepang yang kebingungan melapor ke petugas karena dompetnya hilang.

Saat keluar dari komplek kuil, sebuah kios minuman kaleng telah menyambut para pengunjung, dengan cuaca yang begitu terik, minuman kaleng dingin seharga 25 tbh dengan berbagai rasa khas Thailand seperti pome, krisantemum, dan entah buah apa, laris diserbu para pengunjung. Di Grand Palace kami hanya bisa melihat kemegahan bangunannya dari luar karena kami datang di waktu yang kurang tepat, menurut penjelasan seorang guide, saat weekend pengunjung tak diperbolehkan masuk untuk melihat isi ruangan Grand Palace. Meski begitu kami cukup puas hanya dengan berfoto di depan gedung Grand Palace dan foto bersama dengan penjaga istana yang tampak diam mematung bak penjaga Iitana Inggris. Sebelum pintu keluar masih terdapat sebuah kuil, museum tentang Grand Palace dan museum tentang Ratu Sirikit, tapi karena kami cukup capek, kami tak sempatkan mengunjungi tempat-tempat tersebut.

Seperti yang telah kami tahu dari tv ataupun artikel yang kami baca, disekitar Grand Palace terdapat banyak modus kejahatan oleh para warga lokal. Mulai dari tuk-tuk yang pura- pura menawarkan harga murah untuk mengunjungi kuil-kuil lainnya di Bangkok, pencopet, guide yang menawarkan trip khusus dalam Grand Palace ataupun para penjual makanan burung yang memaksa pengunjung taman untuk membeli dagangannya. Untungnya, selama di Grand Palace kami tak sampai jadi korban kejahatan, meski kami telah melihat beberapa turis yang menjadi sasaran kejahatan dari warga lokal. Dari grand palace kami berencana melanjutkan perjalan kami ke Khao San Road, daerah yang terkenal sebagai pusat backpacker di Bangkok. Kami sengaja tak menggunakan tuk-tuk yang banyak parkir di sekitar taman di seberang Grand Palace, karena kami takut menjadi korban scam. Kami berjalan menyusuri taman ke arah sebuah tugu yang ada di tengah pertigaan jalan, dan menunggu tuk-tuk yang lewat di situ. Sebelumnya kami telah bertanya kepada seorang petugas polisi tentang harga sewa tuk-tuk dari grand palace ke Khao San Road, yaitu sekitar 40 tbh, jadi saat kami mendapat sebuah tuk-tuk, kami telah memiliki patokan harga untuk menawar.

Khao San Road sebenarnya cukup dekat dengan Grand Palace, itulah sebabnya daerah ini menjadi pusat backpacker, karena Grand Palace dan objek wisata disekitarnya dapat dengan mudah dicapai dengan berjalan kaki. Di sepanjang Khao San Road tampak dipenuhi dengan penginapan, tempat makan dan penjual pakaian serta berbagai kebutuhan turis yang kebanyakan didominasi oleh turis-turis bule. Meski barang jualan yang ditawarkan relative sejenis dengan Chatuchak Market, namun harga di Khaosan Road cenderung lebih mahal, dan para penjualnya sedikit kurang ramah. Karena tak menemukan tempat makan yang pas dengan keinginan kami, akhirnya pilihan makan siang kami jatuh pada KFC yang berada di ujung jalan Khao San. Harga makanan di KFC jauh lebih murah daripada KFC Indonesia, tetapi mereka tak menyediakan nasi dalam pilihan paketnya. Dua ayam, satu french-fries regular dan satu cola besar cuma dihargai 105 tbh, atau sekitar 32 rb rupiah, sayangnya rasa saos yang mereka sediakan cenderung manis tak seperti KFC Indonesia. Yang unik dari KFC Thailand adalah para pengunjung biasa makan menggunakan sendok dan garpu, tak seperti kami yang langsung makan dengan tangan, untungnya terdapat serombongan turis Indonesia yang makan di situ, jadi kami tak merasa menjadi paling aneh.

Dari Khao San Road kami berjalan menuju Phorn Athit Pier yang dapat dicapai sekitar 10 menit berjalan kaki. Dari pier ini kami kembali menggunakan perahu bendera orange menuju Tha Tien Pier, kali ini untuk menyeberang menuju Wat Arun. Wat Arun yang berada di seberang Tha Tien Pier dapat dicapai dengan menggunakan fery bertarif 5 tbh yang dermaganya berada di samping dermaga perahu. Berbeda dengan saat naik perahu, tiket ferry dibayar di loket yang berada di dalam pasar, bukan di atas ferry. Wat Arun dikenal sebagai kuil senja, karena dari puncak menaranya pengunjung dapat menikmati pemandangan kota Bangkok saat senja. Tak dikenakan tarif untuk mengunjungi komplek Wat Arun, tetapi untuk dapat naik ke puncak menara pengunjung harus membayar tiket sebesar 50 tbh. Meski menara Wat Arun tampak tinggi menjulang, pendakian menuju puncaknya tak secapek yang dibayangkan, tapi tangga yang sempit dan curam menjadi tantangan tersendiri bagiku yang sedikit takut dengan ketinggian. Menjelang maghrib kami kembali menyeberang ke Tha Tien Pier dan kemudian menggunakan perahu bendera orange menuju Sathorn Pier.

Sebelum pulang ke penginapan kami di Shukumvit, kami mampir di Siam Paragon untuk Sholat dan makan di foodcourt lantai 5 MBK. Menu makan malam yang aku pesan dari stall vegetarian adalah nasi dengan lauk sayuran dan semacam pilus dengan harga 45 tbh. Selama dua hari setengah ini semua objek wisata di Bangkok yang menjadi tujuan kami telah kami kunjungi, jadi esok hari kami hanya punya jadwal untuk menuju bandara Don Muaeng untuk melanjutkan perjalanan kami ke tempat lainnya. Meski belum sempat menengok hebohnya dunia malam patpong, uniknya Chinatown dan pasar terapung, tapi perjalanan di Bangkok ini cukup memuaskan dan diluar ekspektasi.