Hari kedua Sakura Trip dimulai pagi-pagi sekali. Demi kembali memakai Kimono yang kami sewa, kami rela bangun lebih pagi. Di Okamoto Kimono Rental kami diperbolehkan untuk mengembalikan kimono yang disewa pada hari berikutnya, dengan jaminan uang 10.000 JPY/kimono. Di hari sebelumnya di persewaan kimono kami cukup berdiri dan para staf Okamoto akan membantu kami memakai kimono. Pagi ini kami mencoba memakai kimono sendiri, dan, ternyata susah!. Untuk kimono cowok masih cukup gampang, tetapi memakai kimono cewek sungguhlah ribet. Meskipun kami sudah berusaha serapi mungkin dan berusaha meniru sebisa mungkin berdasarkan foto hari sebelumnya, tetap saja kimono yang dipakai Mbak Andin dan Mbak Anik terlihat berantakan. Untuk urusan memakai kimono ini saja kami menghabiskan waktu satu jam.
Tujuan pertama hari kedua ini adalah mengunjungi Arashiyama Bamboo Forest. Dengan kereta Keifuku Dentetsu kami menuju Arashiyama Station yang terletak di bagian barat Kyoto. Kereta api di Jepang tak hanya dikelola pemerintah, tetapi juga dioperasikan oleh pihak swasta, seperti kereta yang kami gunakan untuk menuju ke Arashiyama ini. Untuk mempermudah pembayaran tiket kami menggunakan kartu Pasmo dan SUICA (ICOCA untuk wilayah kansai) sehingga kami hanya cukup menempelkan kartu pada mesin di portal peron stasiun.
Sesampainya di Stasiun Arashiyama kami berjalan ke arah kanan menuju Bamboo Forest. Karena masih pagi, pengunjung di Bamboo Forest masih cukup sepi, jadi kami bisa leluasa berfoto. Sayangnya pagi itu suasana Bamboo Forest agak kurang terang karena langit sedang mendung, sehingga hasil foto kami kurang maksimal. Semakin siang semakin ramai pengunjung berdatangan, banyak di antaranya adalah pasangan yang melakukan sesi foto preweding, yang ternyata kebanyakan dari Indonesia.
Kami berjalan kembali ke stasiun untuk membeli makanan kemudian bergegas menyebrangi Togetsukyo Bridge yang berada tak jauh dari situ. Di sepanjang tepian sungai terdapat jajaran pohon sakura yang sedang bermekaran, kami memilih tempat di bawah pohon sakura untuk berhanami, duduk menikmati sakura sambil menikmati makanan yang telah kami beli. Suasana mendung dan berkabut yang kami rutuki di Bamboo Forest ternyata membuat suasana di sekitar Togetsukyo Bridge menjadi lebih syahdu. Dibalik kabut tipis di kejauhan tampak rumpun pohon sakura yang mulai bermekaran menutupi bukit sekitar Togetsukyo Bridge, ah pengalaman hanami yang menyenangkan.
hanami di tepi sungai |
Togetsukyo Bridge |
Sekitar pukul 10 pagi kami melanjutkan perjalanan kami ke destinasi berikutnya, Fushimi Inari. Kuil ini dibangun untuk menghormati dewa Inari, dewa padi, dan terkenal akan jajaran tori oranyenya yang fotogenik. Fushimi Inari menjadi salah satu tempat tujuan utama wisatawan (Indonesia) yang berkunjung ke Jepang. Akses trasportasi umum termudah untuk ke kuil ini adalah dengan menggunakan kereta, karena stasiun Inari berada tepat di seberang Fushimi Inari. Dan benar saja, begitu sampai di Fushimi Inari suasana kuil ini sangat ramai dengan turis, namun di keramaian ini percakapan dengan bahasa umum di dengar karena banyaknya wisatawan dari Indonesia. Jajaran tori yang terkenal tersebut berada di bagian atas bangunan kuil utama, berjajar rapat ke atas sampai di puncak bukit. Dengan ramainya pengunjung, kesempatan untuk dapat berfoto dengan background tori orange yang tampak sepi menjadi cukup tricky. Jalur tori yang mengarah naik dipenuhi dengan pengunjung, susah untuk berfoto di jalur ini. Tetapi di sisi jalur tori yang turun dari arah bukit cukup sepi, dengan sedikit "antri" kami bisa mendapatkan foto dengan background jajaran tori yang tampak sepi. Kami tidak terlalu mengexplore Fushimi Inari, ramainya pengunjung membuat kami enggan berlama-lama.
Ada kejadian lucu saat kami kembali dari Fushimi Inari, tepatnya saat kami sedang berjalan menuju halte bis Tofukuji. Kami berpapasan dengan seorang kakek warga lokal, dengan bahasa Jepang dia menjelaskan pada kami mengenai kimono yang dipakai Mbak Andin. Karena kami tak bisa bahasa jepang, kami tak memahami apa yang ingin disampaikan kakek tersebut. Sebenarnya sepanjang siang ini sudah ada dua orang warga lokal yang berusaha berkomunikasi dengan kami perihal kimono yang dipakai Mbak Andin, tetapi mereka menyerah karena kami tak paham. Berbeda dengan kekek ini, dia gigih ingin menyampaikan maksudnya. Dengan sedikit memaksa, kakek ini meminta bantuan kepada seorang nenek yang sedang menunggu bus di halte untuk memperbaiki kimono yang Mbak Andin pakai. Ternyata Mbak Andin salah dalam memakai dan mengikat obi kimononya. Jadi siang itu di halte bus nampaklah pemandangan seorang turis yang sedang dikerubuti dua orang lokal yang sibuk memperbaiki kimono yang dipakai tak sesuai aturan. Demi memperbaiki kimono tersebut, si nenek sampai ketinggalan bis dan harus menunggu bis berikutnya :).
Sekembalinya dari Fushimi Inari, kami mampir ke hostel di Kawaramachi untuk berganti pakaian. Kimono yang kami pakai harus dikembalikan ke persewaan di sore hari, karena tujuan kami berikutnya adalah pasar makanan, kami memutuskan untuk berganti pakaian untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, dalam hal ini kami takut kimono terkena noda makanan. Nishiki market terletak hanya sekitar 500m dari hostel kami, kami berjalan melewati Teramachi Dori dan sampailah kami di pasar makanan yang populer ini. Aneka bahan makanan dan masakan jadi dijual di kios-kios sepanjang lorong pasar ini. Tak hanya mata yang terpuaskan dengan aneka makanan yang dijual, tetapi hidungpun dimanjakan dengan berbagai aroma makanan yang menggoda. Sayangnya kami tak punya cukup budget untuk mencoba berbagai makanan menggiurkan yang kami jumpai. Kami hanya sempat mencoba Cukha Idako yang kepalanya berisi telur puyuh dan donat kedelai yang harum dan sehat. Chuka Idako seharga 300 JPY/buah ini bisa ditemukan di beberapa kios sepanjang Nishiki Market. Tetapi hanya satu kios yang menjual donat kedelai, kios ini berada di ujung timur pasar.
chuka idako dan donat kedelai |
Ditutupnya bangunan utama Kizomizudera karena sedang dalam tahap renovasi membuat kami mengurungkan niat untuk berkunjung ke sana, sehingga kami hanya berjalan-jalan di sekitar Higashiyama. Pun gerimis yang sering turun membuat kami tidak bisa meng-explore Higashiyama dengan puas. Di malam harinya kami mengunjungi Maruyama Park yang terletak di belakang Kuil Gion. Jarak Maruyama Park cukup dekat untuk dicapai dengan jalan kaki dari Higashiyama. Maruyama Park adalah salah satu tempat yang menjadi pusat untuk menikmati sakura di Kyoto. Terdapat sebuah pohon sakura raksasa yang telah berumur ratusan tahun yang menjadi atraksi utama di sini. Saat musim sakura pohon ini diterangi lampu sepanjang malam, sehingga pengunjung masih bisa menikmati keindahannya meski telah lewat petang. Jika di Fushimi Inari mayoritas pengunjung adalah turis, pengunjung di Maruyama Park didominasi oleh penduduk lokal yang ingin berhanami dan berkumpul dengan keluarga dan teman. Bahkan di bawah guyuran gerimis para pengunjung lokal tetap berusaha menikmati suasana kebersamaan di bawah naungan payung dan tetap melakukan aktifitas laiknya langit sedang cerah. Meski tak sanggup menikmati hanami di bawah gerimis seperti warga lokal, hari kedua kami ditutup dengan rasa kagum terhadap antusiasme warga untuk berkumpul dan merayakan mekarnya sakura.
hanami di bawah gerimis |
sampai jumpa di hari berikutnya :) |